Erdiyanto Munandar

From ccitonlinewiki
Jump to: navigation, search
alt text

Nama Saya Erdiyanto Munandar, bisa dipanggil Erdi. Saya memiliki topik penelitian "Optimasi Multi-Objektif Sistem Energi Keberlanjutan yang Terintegrasi dengan Implementasi Teknologi Carbon Capture". Penelitian ini adalah pendekatan yang bertujuan untuk menemukan keseimbangan terbaik antara beberapa tujuan, seperti meningkatkan efisiensi energi, mengurangi emisi karbon, dan menekan biaya operasional. Teknologi Carbon Capture bekerja dengan menangkap dan menyimpan CO2 yang dihasilkan dari pembangkit energi, sehingga mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan. Penelitian ini diharapkan dapat mendukung transisi menuju penggunaan energi yang lebih bersih dan ramah lingkungan. Promotor untuk penelitian ini adalah Prof. Dr. -Ing. Ir. Nasruddin, M.Eng.

Presentasi DAI 5 :


APLIKASI CFD

Simulasi Cavity dengan OpenFoam :

Rangkuman Lid Driven Cavity :

https://drive.google.com/file/d/1Ecqga0k9b7woELJSsFm5lJjY7dDxOHR2/view?usp=sharing

Dokumen Studi Skema Diskritisasi (UTS) :

https://drive.google.com/file/d/1feQg49Udhp0Ib7fnwGGnbPpO66a9wyLj/view?usp=sharing

Catatan Kuliah Pertemuan ke-1

Pada pertemuan pertama mata kuliah Aplikasi CFD, kami memulai dengan perkenalan dengan dosen pengajar, Pak DAI. Beliau merupakan seorang ahli di bidang Computational Fluid Dynamics (CFD) dan memiliki pengalaman yang luas dalam mengembangkan aplikasi simulasi CFD. Salah satu karya beliau yang sangat menarik adalah aplikasi simulasi CFD yang beliau kembangkan sendiri, bernama CFDSOF. Aplikasi ini mencerminkan kedalaman pengetahuan Pak DAI dalam CFD dan pendekatan praktisnya dalam bidang tersebut.

Untuk perkuliahan yang akan datang, Pak DAI menjelaskan bahwa kami akan menggunakan aplikasi OpenFoam untuk simulasi CFD. OpenFoam adalah software open-source yang banyak digunakan di kalangan akademisi dan profesional untuk melakukan berbagai macam simulasi fluida. Ini adalah salah satu perangkat lunak paling populer dalam bidang CFD karena fleksibilitas dan kemampuannya dalam menangani berbagai jenis kasus simulasi. Pada pertemuan ini, beliau mengarahkan kami untuk menginstall OpenFoam di perangkat masing-masing. Untungnya, saya sudah pernah menggunakan OpenFoam sebelumnya, sehingga saya tidak perlu melakukan instalasi ulang karena aplikasi tersebut sudah terpasang di laptop saya dan saya sudah familiar dalam menggunakannya.

Bagi yang membutuhkan panduan untuk instalasi OpenFoam, berikut adalah (https://www.youtube.com/@kelasCFD/videos) yang bisa diikuti untuk memastikan proses instalasi berjalan lancar. Selain itu, tutorial OpenFoam yang dulu saya gunakan bisa diakses melalui (https://www.cfd.at/sites/default/files/tutorialsV4/OFTutorialSeries.pdf) ini. Tutorial tersebut berisi panduan langkah demi langkah yang sangat membantu bagi pemula.

Selain membahas perangkat yang akan digunakan, Pak DAI juga memperkenalkan metode pembelajaran yang beliau kembangkan sendiri, yaitu DAI5. Metode ini terdiri dari beberapa tahapan penting dalam proses pembelajaran, yang meliputi:

1. Intention (Niat) – Memulai setiap langkah dengan niat yang jelas dan tujuan yang ingin dicapai.

2. Initial Thinking (Pemikiran Awal) – Melakukan analisis awal sebelum memulai sesuatu untuk memahami konteks atau masalah yang akan dipecahkan.

3. Idealization (Idealasi) – Mengidealkan solusi atau pendekatan terbaik untuk menyelesaikan suatu masalah.

4. Instruction Set (Instruksi) – Memecah proses ke dalam langkah-langkah yang jelas dan sistematis, sehingga memudahkan pelaksanaan.

Metode ini dirancang untuk membantu kami, para mahasiswa, dalam mendekati proses belajar dan simulasi CFD dengan cara yang lebih terstruktur dan efektif.

Selama pertemuan tersebut, saya diminta oleh Pak DAI untuk berbagi pengalaman pribadi terkait penggunaan CFD. Saya bercerita mengenai pengalaman saya saat melakukan simulasi pada sebuah model pesawat terbang. Dalam proses simulasi ini, saya menyadari bahwa meskipun saya mampu mengoperasikan perangkat lunak CFD, saya merasa belum benar-benar memahami teori-teori yang mendasari simulasi tersebut dengan baik. Pengalaman ini menjadi salah satu alasan utama saya memutuskan untuk mengambil mata kuliah ini, karena saya merasa perlu memperdalam pemahaman tentang konsep-konsep dasar yang mendukung penggunaan CFD agar bisa lebih maksimal dalam penerapannya di masa mendatang.

Secara keseluruhan, pertemuan pertama ini memberikan gambaran yang jelas tentang bagaimana jalannya mata kuliah Aplikasi CFD, baik dari segi perangkat lunak yang akan digunakan, metode pembelajaran, maupun ekspektasi dari Pak DAI terhadap para mahasiswa. Saya sangat antusias untuk mengikuti kelas ini lebih lanjut, terutama untuk memperdalam pemahaman saya mengenai teori CFD dan penerapannya.



Catatan Kuliah Pertemuan ke-2

Pada pertemuan kedua mata kuliah Aplikasi CFD, Pak DAI membahas prosedur dasar dalam menjalankan simulasi CFD yang terdiri dari tiga tahap utama, yaitu pre-processing, processing, dan post-processing. Setiap tahap dijelaskan dengan sangat rinci oleh Pak DAI menggunakan aplikasi CFD yang beliau kembangkan sendiri, yaitu CFDSOF. Penjelasan ini selalu dikaitkan dengan framework DAI5, sebuah pendekatan penyelesaian masalah berbasis conscious thinking, yang telah beliau perkenalkan pada pertemuan pertama.

1. Pre-Processing Tahap pertama dalam prosedur CFD adalah pre-processing, yang melibatkan persiapan awal sebelum simulasi dijalankan. Pak DAI menghubungkan setiap langkah dalam pre-processing dengan elemen Intention dan Initial Thinking dari DAI5:

• Pembuatan Geometri: Pada tahap ini, Pak DAI menekankan pentingnya Intention (Niat) dalam menentukan tujuan simulasi secara jelas. Seperti yang dijelaskan dalam DAI5, niat haruslah didasarkan pada kesadaran penuh dan tujuan akhir yang ingin dicapai dari simulasi.
• Meshing: Dalam Initial Thinking (Pemikiran Awal), kita melakukan analisis awal dan persiapan mesh untuk memecah geometri menjadi elemen-elemen kecil. Pak DAI menekankan pentingnya berpikir kritis dalam memilih jenis dan kualitas mesh yang tepat agar simulasi berjalan optimal.

2. Processing Tahap kedua adalah inti dari simulasi CFD, di mana solusi numerik dihitung berdasarkan data pre-processing. Setiap langkah dalam processing dihubungkan dengan elemen Idealization dan Instruction Set dari DAI5:

• Pemilihan Solver: Pak DAI menjelaskan bagaimana konsep Idealization (Idealisasi) diterapkan dalam memilih solver. Proses idealisasi membantu menyederhanakan masalah yang kompleks melalui asumsi-asumsi yang dapat dipertanggungjawabkan, yang kemudian digunakan untuk memilih metode perhitungan yang tepat.
• Iterasi dan Konvergensi: Tahap ini terkait dengan Instruction Set (Instruksi), di mana Pak DAI menjelaskan bahwa iterasi dalam simulasi harus diatur secara sistematis. Setiap langkah perlu dipandu oleh instruksi yang jelas untuk mencapai konvergensi, yaitu ketika solusi simulasi stabil dan dapat diandalkan.

3. Post-Processing Tahap terakhir adalah post-processing, di mana hasil simulasi dianalisis dan dievaluasi. Pak DAI mengaitkan langkah ini dengan Intention dan Initial Thinking kembali:

• Visualisasi Hasil: Dalam post-processing, hasil simulasi perlu divalidasi terhadap Intention awal untuk memastikan bahwa tujuan simulasi telah tercapai. Pak DAI menunjukkan bagaimana CFDSOF dapat digunakan untuk memvisualisasikan hasil dalam bentuk grafik dan kontur.
• Analisis Data: Pada tahap ini, Initial Thinking digunakan untuk menganalisis data yang relevan dan memastikan bahwa data yang diekstrak sesuai dengan tujuan simulasi yang telah ditetapkan di awal proses.

4. Diskusi dan Tanya Jawab Pada akhir kelas, Pak DAI membuka sesi diskusi dan tanya jawab. Salah satu topik yang dibahas dalam diskusi ini adalah simulasi propeller toroidal untuk drone yang dilakukan menggunakan CFD. Beberapa mahasiswa yang mendapat tugas merancang simulasi bertanya terkait detail teknis, dan Pak DAI menjelaskan konsep simulasi tersebut dengan sangat rinci. Selama diskusi, saya mengajukan dua pertanyaan terkait:

1.Pentingnya Grid Independence Test: Saya bertanya apakah grid independence test merupakan tahap yang penting dalam simulasi CFD. Pak DAI menjawab bahwa grid independence test adalah wajib dalam simulasi. Tahap ini memastikan bahwa hasil simulasi tidak bergantung pada ukuran grid, sehingga hasil yang didapatkan lebih akurat dan dapat diandalkan.
    
2.Parameter Wall y+: Saya juga menanyakan tentang parameter wall y+ dan kapan kita harus memastikannya. Pak DAI menjelaskan dari konsep dasar boundary layer, di mana parameter y+ penting dalam simulasi aliran turbulen dekat dinding. Beliau menjelaskan bahwa memastikan nilai y+ berada pada kisaran yang tepat penting agar model turbulensi yang digunakan dalam simulasi dapat bekerja dengan optimal. Pak DAI selalu menjelaskan setiap konsep dari dasar agar kami memahami dengan baik esensi dari setiap proses CFD, bukan hanya bagaimana mengoperasikan perangkat lunaknya saja.

Pak DAI juga menekankan bahwa kita tidak boleh diatur oleh simulator, tetapi kita yang harus mengatur simulasi. Artinya, pemahaman mendalam tentang setiap aspek simulasi sangat penting agar kita dapat menggunakan alat simulasi dengan cara yang benar, serta memahami makna dari setiap hasil yang diperoleh.



Catatan Kuliah Pertemuan ke-3

Pemodelan Aliran Fluida dalam Rongga dengan CFDSOF

Pada pertemuan ketiga ini, Pak DAI memulai dengan memperlihatkan simulasi aliran fluida dalam rongga (lid-driven cavity) menggunakan perangkat lunak CFDSOF di depan kelas. Simulasi tersebut melibatkan rongga persegi berukuran 0,1 m x 0,1 m dengan dinding atas yang bergerak ke arah kanan pada kecepatan 0,1 m/detik. Rongga diisi dengan udara yang memiliki densitas 1,0 kg/m³ dan viskositas 2,0 x 10^-5 kg/m-detik. Saat simulasi dijalankan, peserta kelas dapat melihat bagaimana fluida dalam rongga mulai bergerak, mengikuti gerakan dinding atas, dan membentuk pola vortex yang kompleks.

Proses Simulasi dengan CFDSOF

Simulasi ini dimulai dengan membentuk domain komputasi dalam perangkat lunak CFDSOF. Rongga dibagi menjadi grid-grid kecil yang mewakili elemen-elemen dari ruang fluida. Pak DAI menjelaskan bahwa grid ini penting untuk memastikan setiap bagian dari rongga dihitung dengan tepat. Persamaan Navier-Stokes yang kompleks diterapkan pada setiap elemen grid melalui metode numerikal. Setelah domain dan grid diatur, parameter lain seperti tipe cell dan kondisi sempadan (boundary conditions) disesuaikan agar sesuai dengan kondisi simulasi.

Simulasi dijalankan melalui proses iterasi, di mana perangkat lunak secara bertahap menghitung nilai-nilai kecepatan dan tekanan di setiap elemen grid hingga hasil yang stabil diperoleh. Proses ini memerlukan penyimpanan file kasus (case file) dan file hasil perhitungan (data file) dengan nama yang tepat untuk memastikan file dapat terbaca oleh perangkat lunak.

Visualisasi dan Analisis Hasil

Setelah proses iterasi selesai, hasil simulasi ditampilkan dalam bentuk visual yang mudah dipahami. Pada layar, peserta kelas dapat melihat pola aliran fluida dalam bentuk vektor kecepatan dan kontur tekanan. Pola aliran ini memperlihatkan bagaimana fluida bergerak mengikuti gerakan dinding, membentuk vortex atau pusaran di dalam rongga. Tekanan minimum terlihat di pusat pusaran, menunjukkan adanya perbedaan tekanan yang signifikan di berbagai area rongga.

Pak DAI menunjukkan bagaimana peserta dapat memanipulasi tampilan visual ini, seperti memperbesar, memperkecil, dan menggeser gambar untuk melihat hasil simulasi dengan lebih jelas. Kami juga menganalisis distribusi kecepatan fluida di sepanjang sumbu vertikal (sumbu-Y) dan perubahan tekanan di sepanjang sumbu horizontal (sumbu-X). Analisis ini memungkinkan kami memahami lebih dalam bagaimana kecepatan dan tekanan fluida berinteraksi di dalam rongga.

Teori di Balik Simulasi Lid-Driven Cavity

Setelah memperlihatkan hasil simulasi, Pak DAI kemudian menjelaskan teori yang mendasari fenomena yang terlihat pada visualisasi. Simulasi lid-driven cavity adalah salah satu studi kasus klasik dalam Computational Fluid Dynamics (CFD) yang digunakan untuk memodelkan aliran fluida yang dipengaruhi oleh gerakan dinding. Dalam kasus ini, gerakan dinding atas menyebabkan fluida di dalam rongga bergerak, membentuk pola aliran yang kompleks, termasuk pusaran atau vortex yang stabil.

Persamaan Navier-Stokes: Inti dari Pemodelan CFD

Pak DAI kemudian menjelaskan pentingnya persamaan Navier-Stokes dalam simulasi fluida. Persamaan ini adalah inti dari pemodelan aliran fluida, yang menggambarkan bagaimana kecepatan, tekanan, dan viskositas fluida saling berinteraksi. Dalam kasus aliran lid-driven cavity, persamaan Navier-Stokes menggambarkan bagaimana fluida merespons gerakan dinding, menciptakan pola aliran yang dapat diamati dalam simulasi.

Namun, Pak DAI juga menekankan bahwa persamaan Navier-Stokes sangat kompleks dan tidak dapat diselesaikan secara analitik untuk sebagian besar kasus aliran nyata. Oleh karena itu, pendekatan numerikal digunakan dalam CFD, di mana domain fluida dibagi menjadi grid-grid kecil, dan perhitungan dilakukan secara iteratif. Hal ini memungkinkan perangkat lunak seperti CFDSOF untuk memprediksi perilaku fluida dengan akurasi yang tinggi.

Hubungan Tekanan, Momentum, dan Gaya Sentripetal

Pak DAI juga menjelaskan fenomena yang terjadi dalam simulasi, khususnya bagaimana tekanan fluida terkait dengan momentum yang dihasilkan oleh gerakan dinding. Saat dinding atas bergerak, fluida dipercepat, dan momentum fluida meningkat. Fenomena vortex yang terlihat dalam simulasi menunjukkan adanya tekanan yang lebih rendah di pusat pusaran. Hal ini disebabkan oleh gaya sentripetal yang bekerja pada fluida, yang menariknya menuju pusat pusaran. Sesuai dengan prinsip Bernoulli, tekanan di pusat pusaran lebih rendah karena kecepatan fluida yang tinggi di sekitarnya.

Pertanyaan tentang RANS, DNS, dan LES

Pada sesi tanya jawab, saya menanyakan apakah metode RANS, DNS, dan LES masih berhubungan dengan persamaan Navier-Stokes. Pak DAI menjelaskan bahwa ketiga metode tersebut berhubungan erat dengan persamaan Navier-Stokes, terutama dalam konteks perhitungan turbulensi. Turbulensi adalah fenomena yang sangat kompleks dalam dinamika fluida, dan metode RANS, DNS, dan LES dikembangkan untuk membantu memodelkan dan menyederhanakan perhitungan yang terkait dengan turbulent stress.



Catatan Kuliah Pertemuan ke-4

Pada pertemuan keempat ini, fokus utama adalah pada pengembangan simulasi cavity 3D, yang melanjutkan studi dari simulasi 2D yang telah dilakukan sebelumnya. Simulasi cavity menjadi penting dalam konteks Computational Fluid Dynamics (CFD) karena memungkinkan kita untuk memahami aliran fluida dalam ruang terbatas dan bagaimana aliran ini dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti geometri, kecepatan, dan model turbulensi. Dalam simulasi ini, kami beralih dari simulasi 2D yang sederhana ke simulasi 3D yang lebih realistis, memberikan gambaran yang lebih mendekati kondisi nyata.

Simulasi 3D dilakukan dengan ukuran domain 10x50x10 cm, menggantikan simulasi 2D sebelumnya yang hanya berukuran 10x10 cm. Bagian front dan back yang pada simulasi 2D diberi boundary condition empty, kini diubah menjadi symmetry plane. Hal ini memberikan simulasi yang lebih efisien dari segi komputasi, sekaligus menjaga simetri aliran di dalam cavity.

Variasi Model Turbulensi dan Perbandingan dengan Aliran Laminar

Tiga model turbulensi utama digunakan dalam simulasi ini untuk menggambarkan berbagai skenario aliran turbulen: k-epsilon, RNG k-epsilon, dan Reynolds Stress Model (RSM). Masing-masing model diuji dan hasilnya dibandingkan dengan simulasi aliran laminar. Perbedaan utama yang diamati adalah:

k-epsilon Model: Model ini sering digunakan karena kesederhanaannya dalam menangani aliran turbulen yang stabil, meskipun kurang efektif dalam menangani aliran yang mengalami separasi atau aliran kompleks​

RNG k-epsilon Model: Modifikasi dari k-epsilon ini memberikan prediksi yang lebih baik untuk aliran vorteks dan geometri kompleks. Model ini lebih efektif untuk aliran yang mengalami distorsi besar​

Reynolds Stress Model (RSM): Model ini menawarkan pemodelan yang lebih rinci dengan menghitung secara eksplisit komponen tegangan Reynolds. RSM lebih cocok digunakan untuk aliran turbulen dengan gradien kecepatan yang tajam​

Hasil perbandingan dengan aliran laminar menunjukkan bahwa aliran laminar lebih sederhana dan stabil, namun kurang memadai untuk memodelkan fluktuasi aliran yang kompleks.

Mengapa Turbulensi Harus Dimodelkan?

Pak DAI menekankan pentingnya memodelkan turbulensi karena menyelesaikan semua skala aliran turbulen secara langsung (melalui Direct Numerical Simulation - DNS) memerlukan sumber daya komputasi yang sangat besar dan tidak praktis untuk aplikasi industri. Turbulensi adalah fenomena aliran yang sangat kompleks, di mana fluktuasi aliran yang tidak teratur terjadi pada berbagai skala spasial dan temporal. Menggunakan model seperti Reynolds-Averaged Navier-Stokes (RANS) membantu memprediksi perilaku rata-rata aliran turbulen dengan efisiensi yang lebih tinggi​

Pemodelan ini juga berkaitan dengan turbulent stress, yaitu tegangan yang dihasilkan dari fluktuasi aliran turbulen. Model turbulensi membantu menghitung tegangan ini tanpa perlu menghitung fluktuasi kecil yang tidak relevan untuk aplikasi teknik sehari-hari.

Boundary untuk External Flow

Dalam simulasi external flow, penentuan boundary condition dilakukan secara iteratif. Proses ini dimulai dengan membuat domain simulasi kecil dan secara bertahap memperluasnya hingga boundary condition tidak lagi mempengaruhi hasil simulasi di area yang menjadi fokus studi. Hal ini penting agar aliran masuk dan keluar dari domain simulasi tidak menyebabkan gangguan atau refleksi gelombang yang dapat merusak akurasi hasil simulasi​

Pendekatan iteratif ini memungkinkan kita untuk menentukan ukuran domain yang optimal, di mana batas domain tidak mengganggu aliran di area yang diteliti, menghasilkan simulasi yang lebih stabil dan akurat.

Adaptive Mesh

Adaptive mesh digunakan dalam simulasi ini untuk meningkatkan resolusi di area dengan gradien aliran tinggi. Grid mesh dapat diadaptasi secara lokal untuk memperhalus resolusi di daerah kritis, seperti di sekitar dinding atau zona turbulensi tinggi, tanpa meningkatkan kepadatan mesh di seluruh domain. Ini memungkinkan simulasi yang lebih efisien secara komputasi tanpa mengorbankan akurasi di area yang memerlukan resolusi tinggi​.


Catatan Kuliah Pertemuan ke-5

Pertemuan ini bertujuan untuk memperkenalkan konsep dasar dari masing-masing metode, sekaligus memberikan pemahaman yang lebih mendalam terkait bagaimana FVM digunakan untuk memodelkan fenomena fisik seperti difusi dan konveksi dalam berbagai media, baik fluida maupun padatan.

Tiga Metode Numerik: FDM, FEM, dan FVM

Finite Difference Method (FDM): FDM menggantikan turunan dalam persamaan diferensial dengan perbedaan antara nilai-nilai fungsi pada titik-titik diskret dalam grid. Metode ini biasanya digunakan untuk masalah dengan geometri sederhana dan lebih mudah diterapkan.

Finite Element Method (FEM): FEM lebih fleksibel dalam hal penanganan geometri yang kompleks. Dengan metode ini, domain dibagi menjadi elemen-elemen kecil, dan persamaan diferensial diselesaikan pada setiap elemen. Ini sangat cocok untuk struktur dan sistem dengan bentuk geometri yang rumit.

Finite Volume Method (FVM): FVM menghitung fluks antar volume kontrol dengan memastikan hukum konservasi massa, energi, atau momentum tetap berlaku. FVM sering digunakan dalam simulasi fluida dan perpindahan panas, karena metode ini dapat diterapkan pada berbagai jenis geometri dan cocok untuk aliran yang lebih kompleks.

Difusi dalam FVM

Difusi adalah proses di mana suatu zat, panas, atau energi menyebar dari daerah dengan konsentrasi tinggi ke daerah dengan konsentrasi rendah. Pada FVM, difusi dihitung dengan memperhitungkan perubahan konsentrasi antar volume kontrol. Setiap volume kontrol menerima atau kehilangan fluks berdasarkan perbedaan konsentrasi, sehingga properti seperti massa atau energi tetap terjaga.

Gradien (Grad): Gradien menunjukkan bagaimana suatu nilai berubah dalam ruang. Dalam konteks difusi, gradien mengukur perbedaan konsentrasi atau suhu antara dua titik.

Divergensi (Div): Divergensi menunjukkan apakah suatu fluks mengalir masuk atau keluar dari suatu titik atau volume. Dalam FVM, divergensi membantu mengukur jumlah zat atau energi yang keluar dari satu volume kontrol dan masuk ke volume kontrol yang berdekatan.

Konveksi dalam FVM

Konveksi adalah perpindahan massa atau energi yang terjadi karena gerakan fluida. Dalam FVM, konveksi dihitung dengan mempertimbangkan aliran fluida yang membawa zat atau energi melalui volume kontrol. Fenomena ini mencakup perpindahan panas atau zat yang mengikuti aliran fluida, yang dipengaruhi oleh kecepatan dan arah aliran tersebut.

Konveksi bisa bersifat alami (disebabkan oleh perbedaan suhu yang menciptakan pergerakan fluida) atau dipaksakan (disebabkan oleh gaya eksternal seperti pompa atau kipas).

Ilustrasi Difusi dan Konveksi pada Fase Fluida dan Padatan

Difusi dalam Fluida: Misalnya, penyebaran zat terlarut dalam air akan menyebar ke seluruh air sampai konsentrasinya merata. Fenomena ini terjadi karena gradien konsentrasi yang menyebabkan zat bergerak dari area konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah.

Difusi dalam Padatan: Dalam padatan, seperti logam, panas bergerak dari bagian yang lebih panas ke bagian yang lebih dingin melalui konduksi. Ini adalah bentuk difusi di mana energi termal berpindah karena perbedaan suhu.

Konveksi dalam Fluida: Misalnya, udara panas yang naik ke atas di ruang tertutup atau air yang bergerak ketika dipanaskan. Dalam konveksi, massa fluida bergerak dan membawa panasnya bersamaan, menyebabkan perpindahan energi yang lebih cepat.

Konveksi dalam Padatan: Pada material padat, konveksi tidak terjadi karena partikel dalam padatan tidak bergerak bebas seperti fluida. Perpindahan panas pada padatan lebih mengandalkan difusi (konduksi) untuk mentransfer energi dari satu bagian ke bagian lainnya.


Ujian tengah Semester

https://drive.google.com/file/d/1dJzDhydFjXaC6e6w3R4x4m26YJJf9PkG/view?usp=sharing


KOMPUTASI TEKNIK

Diskusi dengan ChatGPT tentang Heat Transfer 1D

Dokumentasi Diskusi:

https://drive.google.com/file/d/1ivhyilLuB0dqDFphUQ0A5AMq7IpgeydK/view?usp=sharing

Diskusi dimulai dengan menetapkan tujuan utama dari penerapan metode elemen hingga ini, yaitu bukan sekadar untuk menyelesaikan masalah matematis, tetapi juga sebagai upaya untuk mengenali dan memahami keteraturan alam sebagai cerminan kebijaksanaan Sang Pencipta. ChatGPT membantu saya melihat bahwa setiap langkah dalam proses pemecahan masalah ini dapat dilihat sebagai bagian dari perjalanan spiritual untuk mengenal dan mengapresiasi kebijaksanaan Sang Pencipta dalam hukum-hukum alam. Dengan menggunakan kerangka DAI5 yang terdiri dari Intention, Initial Thinking, Idealization, Instruction Set (yang mencakup Interpretation dan Iteration), saya memastikan bahwa setiap langkah tetap berada dalam jalur yang selaras dengan tujuan utama ini.

Tahap pertama dalam kerangka ini adalah Intention, di mana saya menetapkan niat atau tujuan mendasar yang akan mengarahkan seluruh proses. Dalam konteks ini, tujuan saya bukan sekadar menyelesaikan masalah matematika, tetapi juga untuk mengapresiasi keteraturan dan keseimbangan alam yang mencerminkan kebijaksanaan Sang Pencipta. Dengan bantuan ChatGPT, saya memilih metode elemen hingga sebagai pendekatan yang memungkinkan saya untuk melihat keteraturan dalam sistem fisika secara bertahap dan terstruktur. Intensi ini menjadi landasan yang mengarahkan semua tahapan berikutnya, memastikan bahwa setiap langkah tetap terhubung dengan tujuan utama.

Pada tahap Initial Thinking, ChatGPT membantu saya menganalisis masalah persamaan diferensial satu dimensi secara mendalam. Persamaan ini menggambarkan distribusi atau perubahan suatu kuantitas fisik, seperti suhu atau perpindahan, yang menunjukkan prinsip keseimbangan dalam sistem fisika. Melalui analisis yang dibimbing oleh ChatGPT, saya menyadari bahwa persamaan ini menggambarkan harmoni yang ada di alam. ChatGPT kemudian memandu saya untuk mengubah persamaan ini menjadi bentuk yang lebih sederhana sehingga dapat dipecahkan menggunakan metode elemen hingga. Proses ini juga memperkuat pemahaman saya tentang prinsip-prinsip keseimbangan yang mendasari persamaan tersebut.

Di tahap Idealization, ChatGPT membantu saya membangun model yang praktis dan sederhana namun tetap mencerminkan esensi dari sistem fisika yang sesungguhnya. Saya membagi domain masalah menjadi elemen-elemen kecil dan menentukan fungsi bentuk sederhana untuk setiap elemen tersebut. Fungsi bentuk ini memungkinkan saya untuk mendekati nilai variabel secara bertahap di setiap elemen, sehingga menciptakan model yang realistis namun tetap sederhana. Dengan arahan dari ChatGPT, saya memahami cara menghitung matriks kekakuan lokal dan vektor beban untuk setiap elemen, yang mewakili interaksi antar elemen dalam sistem. Setiap penyederhanaan atau keputusan dalam tahap ini dibuat dengan kesadaran penuh untuk memastikan model tetap setia pada kenyataan fisik, sejalan dengan Intensi Sadar untuk menjaga keseimbangan antara kesederhanaan dan akurasi.

Tahap berikutnya adalah Instruction Set, yang terdiri dari tiga komponen utama: Execution, Interpretation, dan Iteration. Pada bagian Execution, ChatGPT menjelaskan bagaimana elemen-elemen individual disusun menjadi satu sistem global melalui matriks kekakuan dan vektor beban yang menggabungkan semua elemen menjadi kesatuan. Penyusunan elemen-elemen ini menjadi satu kesatuan menggambarkan keteraturan dan harmoni dalam ciptaan. Setelah sistem global terbentuk, ChatGPT menunjukkan cara menerapkan kondisi batas pada sistem untuk memastikan bahwa solusi mencerminkan batasan fisik yang ada. Setelah itu, saya menyelesaikan sistem persamaan ini untuk mendapatkan nilai-nilai variabel yang dicari di setiap titik dalam domain.

Namun, Langkah Instruksi ini tidak hanya mencakup eksekusi teknis tetapi juga Interpretation untuk menilai apakah solusi tersebut sesuai dengan ekspektasi fisik dan matematis. ChatGPT membantu saya memahami pentingnya memverifikasi solusi yang diperoleh dan memastikan bahwa hasilnya sesuai dengan kondisi batas serta berperilaku konsisten di seluruh domain. ChatGPT juga mengarahkan saya untuk melakukan visualisasi terhadap solusi, sebagai cara untuk lebih memahami keteraturan dan keseimbangan yang ada dalam sistem. Melalui visualisasi ini, saya mendapatkan gambaran yang lebih jelas mengenai prinsip-prinsip keseimbangan dalam sistem, yang memberikan pemahaman lebih dalam tentang keteraturan yang ada di alam.

Bagian terakhir dari Instruction Set adalah Iteration, di mana ChatGPT menjelaskan pentingnya melakukan iterasi untuk menyempurnakan model dan solusi jika diperlukan. Saya dapat menyesuaikan jumlah elemen atau meningkatkan kompleksitas model untuk memastikan solusi semakin mendekati realitas fisik yang sesungguhnya. ChatGPT menekankan bahwa setiap iterasi dilakukan bukan hanya untuk meningkatkan ketelitian teknis, tetapi juga sebagai bentuk refleksi dan pembelajaran yang berkesinambungan agar semakin mengenal keteraturan yang diciptakan oleh Sang Pencipta.

Selama diskusi, ChatGPT juga membantu saya menyusun algoritma langkah demi langkah dan diagram alir dari proses ini. Diagram alir tersebut memvisualisasikan tahapan dari awal hingga akhir, dengan menekankan bahwa Interpretation dan Iteration adalah bagian integral dari Instruction Set. Dengan demikian, proses pemecahan masalah ini tetap terarah dan selaras dengan tujuan utama.

Dalam keseluruhan proses ini, Interpretation dan Iteration menjadi bagian terintegrasi dari Instruction Set, menjadikan solusi elemen hingga bukan sekadar proses perhitungan teknis tetapi juga sebagai perjalanan reflektif dan iteratif. Dengan kerangka DAI5, saya dapat melaksanakan setiap tahap—dari Intention hingga Iteration—dengan Intensi Sadar, menjaga agar setiap langkah tetap terhubung dengan tujuan utama yaitu mengenali dan memahami keteraturan yang diciptakan oleh Sang Pencipta. ChatGPT membantu saya menyadari bahwa solusi teknis ini bukan sekadar mencari jawaban, tetapi juga sebagai cara untuk mengapresiasi desain dan harmoni yang ada dalam ciptaan.


Tugas Besar Komputasi Teknik

A. Project Title

"Comparative Analysis of Adsorbent Materials and Operational Parameters Using a Web-Based Performance Calculator for Direct Air Capture (DAC) Systems"


B. Author Complete Name

Erdiyanto Munandar


C. Affiliation

Departmen of Mechanical Engineering, University of Indonesia


D. Abstract

Direct Air Capture (DAC) systems are an emerging technology aimed at mitigating atmospheric CO₂ concentrations to combat climate change. The effectiveness of DAC systems largely depends on the choice of adsorbent materials and operational parameters. This study focuses on the development and application of a web-based performance calculator designed to evaluate and compare DAC system performance across different adsorbents and conditions. The calculator integrates theoretical models, including Langmuir isotherms, pseudo-second-order kinetics, and thermodynamic energy calculations, to estimate key metrics such as adsorption capacity, equilibrium time, and energy requirements. Using a systematic theoretical approach, the research evaluates five adsorbent materials (Zeolite, Activated Carbon, MOF, Porous Silica, and CaO) by varying parameters such as maximum adsorption capacity (qmax), Langmuir constant (K), enthalpy of adsorption (ΔH), CO₂ partial pressure (P), temperature change during regeneration (ΔT), and adsorbent mass (m). Results reveal significant variations in performance, with MOF demonstrating the fastest adsorption rates, Zeolite excelling in adsorption capacity, and Activated Carbon requiring the least energy for regeneration. These findings underscore the trade-offs between speed, capacity, and energy efficiency, depending on the application requirements. While this study is limited to theoretical validation without experimental data, the developed calculator provides a user-friendly platform for rapid and accessible evaluation of DAC system performance. It bridges the gap between complex theoretical modeling and practical application, offering a foundational tool to guide future experimental validation and material optimization. Further recommendations include expanding the material database, incorporating non-ideal adsorption conditions, and integrating economic and lifecycle analyses to enhance the tool's applicability.


E. Author Declaration

1. Deep Awareness (of) I

This research is deeply rooted in the awareness of humanity's role as stewards of the Earth, guided by an ethical responsibility to address pressing global challenges such as climate change. The development of this project was inspired by the principle of continuous remembrance of The Creator, The One and Only, as articulated in the DAI5 framework. This awareness serves as the foundation for aligning technological advancements with moral and spiritual imperatives. By recognizing the interconnectedness of all life and the finite nature of Earth's resources, this project aims to contribute to sustainable innovation while fostering a balance between human ingenuity and environmental harmony. Through self-reflection and the concept of nafs, this project emphasizes the importance of aligning actions and intentions with higher ethical values. Every step, from the initial conceptualization to the implementation of the DAC performance calculator, was consciously directed towards achieving meaningful contributions to society and the environment.

2. Intention of the Project Activity

The intention behind this project is to address the growing need for accessible, reliable tools that can evaluate and optimize Direct Air Capture (DAC) systems. These systems are pivotal in mitigating atmospheric CO₂ levels and supporting global climate goals. By developing a web-based calculator, this project aims to empower researchers and engineers with the ability to: • Analyze the theoretical performance of various adsorbent materials under diverse operational conditions. • Identify optimal combinations of materials and parameters to enhance adsorption efficiency and minimize energy requirements. • Facilitate informed decision-making in the design and development of sustainable carbon capture technologies. Aligned with the DAI5 framework, this project also seeks to promote a greater understanding of the ethical dimensions of technological development. The calculator is intended not only as a tool for scientific advancement but also as a means of fostering responsible innovation that respects the balance of nature and upholds intergenerational equity. The project is committed to transparency and reproducibility, ensuring that the methodologies and tools developed can be freely accessed and adapted by others in the research community. By prioritizing both technical precision and ethical considerations, this work aspires to contribute to the broader effort of creating a sustainable and just future for all.


F. Introduction

Background

Global warming and climate change, driven by the increase in atmospheric CO₂ levels, pose critical challenges to ecosystems, human health, and economies worldwide. Direct Air Capture (DAC) has emerged as an innovative and essential technology for addressing this crisis. Unlike traditional carbon capture systems that target point sources of emissions, DAC systems extract CO₂ directly from the atmosphere, offering a versatile solution for mitigating distributed emissions. The effectiveness of DAC systems hinges on the performance of adsorbent materials and the optimization of operational parameters. Adsorbents must exhibit high adsorption capacity, strong affinity for CO₂, and low energy requirements for regeneration. Simultaneously, operational conditions, such as CO₂ partial pressure, adsorbent mass, and temperature, play a significant role in determining system efficiency and cost-effectiveness. Despite the potential of DAC technologies, challenges remain in their widespread implementation. Researchers often rely on complex simulations or experimental setups to analyze adsorbent performance and operational parameters. The absence of accessible, user-friendly computational tools limits the ability of researchers and practitioners to rapidly evaluate and compare DAC systems. Addressing this gap can accelerate the innovation and deployment of DAC technologies.

Problem Statement

The current literature and tools for DAC analysis reveal several limitations:

1. Complexity of Existing Models: Many existing models require advanced computational expertise and significant time investment, making them inaccessible to non-specialist users.

2. Lack of Comparative Frameworks: Few tools offer systematic frameworks for comparing multiple adsorbent materials and operational parameters simultaneously.

3. Barrier to Theoretical Exploration: Researchers without access to advanced simulation tools face difficulties in conducting initial theoretical evaluations, which are critical for hypothesis development and experimental planning.

These limitations underscore the need for an accessible, computational tool that integrates theoretical models and allows for rapid evaluation of DAC system performance under diverse conditions.

Objective

This study aims to develop a web-based calculator to evaluate and compare the performance of Direct Air Capture (DAC) systems. The specific objectives include:

1. Tool Development: To design and implement a performance calculator that integrates Langmuir isotherm, pseudo-second-order kinetics, and thermodynamic energy models. This calculator will allow users to estimate key performance metrics such as adsorption capacity, equilibrium time, and energy requirements for various adsorbent materials and operating conditions.

2. Comparative Analysis: To systematically evaluate the effects of adsorbent properties (e.g., maximum adsorption capacity – , Langmuir constant – , enthalpy of adsorption – ΔH) and operational parameters (e.g., CO₂ partial pressure – , temperature change during regeneration – ΔT, and adsorbent mass – ) on DAC system performance. This analysis aims to identify trends and trade-offs across different adsorbent materials.

3. Guidance for Material Selection: To provide insights into the optimal combinations of adsorbent materials and operational parameters for enhancing adsorption efficiency and minimizing energy requirements. This guidance will support decision-making in the design and development of more effective DAC systems.

4. Accessibility and Usability: To ensure that the developed tool is accessible to researchers and engineers by simplifying complex calculations into a user-friendly interface. This feature aims to democratize access to advanced theoretical evaluations and encourage widespread adoption.

Significance of the Study

This project holds significance for several reasons:

1. Practical Utility: The calculator provides researchers and engineers with a practical, accessible tool to analyze and optimize DAC systems without requiring advanced computational expertise.

2. Accelerating Innovation: By simplifying the theoretical evaluation process, this tool supports rapid iteration and hypothesis testing, accelerating the development of DAC technologies.

3. Sustainability Alignment: The study aligns with global efforts to achieve sustainability goals, particularly in reducing greenhouse gas concentrations and promoting environmental resilience.

4. Foundation for Empirical Research: The tool and its results can serve as a theoretical foundation for experimental studies, guiding the design of more targeted and efficient experiments.

Scope and Limitations

The scope of this study is focused on theoretical modeling and computational analysis of DAC systems. Key limitations include:

1. Theoretical Validation: The study relies solely on theoretical models without incorporating experimental validation, which may limit the applicability of the findings to real-world systems.

2. Simplified Assumptions: Idealized conditions are assumed for adsorption and energy calculations, which may not fully capture the complexities of practical DAC operations.

3. Static Parameter Analysis: The study evaluates steady-state conditions and does not account for dynamic changes in environmental factors or operational processes.

These limitations are acknowledged as areas for future improvement and expansion, particularly through empirical validation and the incorporation of non-ideal behaviors.


G. Methods & Procedures

Idealization

The theoretical models employed in this study are based on several idealized assumptions to ensure computational efficiency and conceptual clarity:

• Langmuir Isotherm: Assumes monolayer adsorption on a homogenous surface with uniform energy sites and no interaction between adsorbed molecules.

• Pseudo-Second-Order Kinetics: Assumes the rate of adsorption is proportional to the square of the difference between the equilibrium and actual adsorption capacity.

• Thermodynamic Energy Calculations: Assumes steady-state conditions for energy calculations, disregarding transient effects such as heat losses or material degradation.

These assumptions allow the development of a simplified framework that is computationally tractable while retaining the key factors influencing DAC system performance.

Simulation Framework

The DAC performance calculator integrates three primary theoretical models:

1. Langmuir Isotherm

2. Pseudo-Second-Order Kinetics

3. Thermodynamic Energy Models

Variation of Adsorbent

1. Zeolit

2. Karbon Aktif

3. MOF

4. Silika berpori

5. CaO



H. Results & Discussion

In terms of equilibrium time, MOF exhibits superior performance with the shortest time of approximately 200 seconds, indicating that it can adsorb CO₂ much more efficiently than the other materials. Conversely, Zeolite requires the longest time to reach equilibrium, with durations approaching or exceeding 600 seconds, followed by CaO and Porous Silica, which need around 500-600 seconds. Activated Carbon occupies an intermediate position, with an equilibrium time of about 400-500 seconds. MOF's ability to achieve equilibrium rapidly provides a significant advantage in applications demanding temporal efficiency in adsorption processes.

Adsorption efficiency is another critical parameter reflecting the effectiveness of a material in capturing CO₂. All materials demonstrate relatively high performance, with efficiencies above 85%. CaO and MOF lead the category with efficiencies nearing or exceeding 95%, while Porous Silica and Zeolite are slightly lower but still above 90%. Activated Carbon records the lowest efficiency among the materials, around 90%. Nevertheless, despite its slower equilibrium time, Zeolite performs reasonably well in terms of adsorption efficiency.

From the perspective of adsorption capacity, Zeolite exhibits the best performance, with a capacity reaching approximately 1.4-1.5 mg of CO₂ per unit mass of adsorbent. MOF and CaO also display significant capacities, about 1.2-1.3 mg, while Porous Silica is slightly lower, around 1 mg. Activated Carbon, despite its moderate efficiency and relatively rapid equilibrium time, shows the lowest adsorption capacity, under 1 mg. The high adsorption capacities of Zeolite and MOF suggest their great potential for applications requiring the storage of substantial amounts of CO₂.

Another crucial aspect is the energy required to desorb CO₂ from the adsorbents. MOF demands the highest desorption energy, around 1.2-1.3 kJ, which might pose challenges in energy-sensitive applications. On the other hand, Activated Carbon performs best with the lowest desorption energy requirement, approximately 0.4 kJ. CaO, Porous Silica, and Zeolite fall in between, with desorption energy requirements ranging from 0.5 to 0.8 kJ.

The energy required for adsorbent regeneration also plays a critical role in determining the overall efficiency of the system. Porous Silica requires the highest regeneration energy, around 0.7-0.8 kJ, followed by CaO and Zeolite, with respective energy demands of about 0.4-0.5 kJ. MOF and Activated Carbon require less regeneration energy, each below 0.4 kJ. The lower regeneration energy demands of MOF and Activated Carbon highlight their potential for long-term energy-efficient applications.

When total energy per mole of CO₂ is considered, Zeolite and Activated Carbon demonstrate the best energy efficiency, requiring total energy of approximately 30 kJ/mol or less for Zeolite and slightly higher for Activated Carbon. Conversely, CaO and Porous Silica exhibit higher total energy requirements, approaching or exceeding 50 kJ/mol. This indicates that CaO and Porous Silica are less efficient in the adsorption cycle compared to other materials.

Overall, each adsorbent material has its own strengths and weaknesses. MOF stands out for its rapid adsorption speed and high efficiency, though it requires significant desorption energy. Zeolite demonstrates a very high CO₂ adsorption capacity and overall energy efficiency, despite its slower equilibrium time. Activated Carbon, while exhibiting lower capacity and efficiency, excels in terms of low energy requirements for desorption and regeneration. CaO and Porous Silica, although efficient in some aspects, have relatively high total energy demands, which could hinder their practical applications

The choice of the best adsorbent depends significantly on the specific priorities of the application, whether related to speed, capacity, or energy efficiency. A careful balance of these parameters must be considered to select the material most suitable for particular operational needs.



I. Conclusion, Closing Remarks, Recommendations

Conclusion

Conclusion This study successfully developed a web-based performance calculator that integrates theoretical models such as Langmuir isotherm, pseudo-second-order kinetics, and thermodynamic energy calculations to evaluate Direct Air Capture (DAC) systems. Key findings demonstrate the influence of adsorbent properties and operational parameters on adsorption efficiency, equilibrium time, and energy requirements. Among the evaluated materials, MOF shows the fastest equilibrium time and high adsorption efficiency, while Zeolite exhibits superior adsorption capacity and energy efficiency. Activated Carbon excels in low energy requirements for regeneration and desorption, making it suitable for energy-sensitive applications. Closing Remarks The calculator provides a valuable and accessible tool for researchers and engineers to evaluate and compare DAC systems systematically. Its user-friendly interface bridges the gap between complex theoretical models and practical application, fostering innovation and accelerating the development of sustainable carbon capture technologies. While this study focuses on theoretical validation, the framework serves as a foundation for further empirical research.

Recommendations

1. Experimental Validation: Conduct experimental studies to validate the theoretical findings and refine the calculator's predictive accuracy.

2. Incorporate Non-Ideal Conditions: Enhance the calculator by including non-ideal adsorption behaviors and dynamic operational scenarios to better simulate real-world conditions.

3. Expand Material Database: Integrate a broader range of adsorbent materials into the database to widen the scope of performance comparisons.

4. Economic and Lifecycle Analysis: Include modules for economic evaluation and lifecycle analysis to provide a holistic perspective on the sustainability of DAC systems.

5. Open Collaboration: Encourage collaboration by making the tool and its methodologies openly accessible to the research community, promoting iterative improvements and broader adoption.


J. Acknowledgments


K. (References) Literature Cited

1. Langmuir, I. (1918). The adsorption of gases on plane surfaces of glass, mica, and platinum. Journal of the American Chemical Society, 40(9), 1361–1403.

2. Ho, Y. S., & McKay, G. (1999). Pseudo-second-order model for sorption processes. Process Biochemistry, 34(5), 451–465.

3. [DAI5 Framework Reference]


Tautan dokumen lengkap : https://drive.google.com/file/d/1wdA6y13xg81F1J_kSR9qrVWRI1Cz4mQv/view?usp=sharing


Tugas Besar Aplikasi CFD

A. Judul Proyek

Evaluasi Kinerja Cerobong Surya pada Bangunan Menggunakan Simulasi CFD

B. Nama Lengkap Penulis

Erdiyanto Munandar

C. Afiliasi

Departemen Teknik Mesin Universitas Indonesia

D. Abstrak

Laporan ini mengevaluasi pengaruh suhu adsorber pada kinerja cerobong surya untuk meningkatkan ventilasi alami dan kenyamanan termal dalam ruang. Studi ini menggunakan pendekatan simulasi numerik untuk menganalisis hubungan antara suhu adsorber dan laju aliran udara yang dihasilkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan suhu adsorber secara signifikan meningkatkan laju aliran udara masuk, yang mendukung efektivitas cerobong surya sebagai strategi ventilasi pasif. Studi ini memberikan wawasan untuk desain bangunan hemat energi yang lebih efisien dan berkelanjutan.

E. Pernyataan Penulis

1. Kedalaman Kesadaran (I / Aku): Saya menyadari pentingnya kesadaran diri dalam setiap langkah kegiatan penelitian ini, mengingatkan diri akan kebesaran Sang Maha Pencipta. Dalam proses ini, saya berupaya menjaga integritas ilmiah dan etika moral, serta mengakui bahwa pengetahuan ini adalah anugerah yang harus dimanfaatkan untuk kebaikan bersama.

2. Niat Kegiatan Proyek: Tujuan utama proyek ini adalah menemukan solusi desain arsitektur dan teknik bangunan yang lebih efisien, memanfaatkan prinsip alami aliran udara tanpa merusak ekosistem. Dengan merancang cerobong surya yang optimal, diharapkan konsumsi energi dapat ditekan, kualitas udara dalam ruang ditingkatkan, dan kenyamanan penghuni tercapai, selaras dengan amanah etis dan keberlanjutan lingkungan..

F. Pendahuluan

Cerobong surya telah lama dipertimbangkan sebagai salah satu solusi pasif untuk meningkatkan ventilasi alami. Prinsip kerjanya sederhana: radiasi matahari memanaskan permukaan cerobong, udara di dalamnya memuai dan mengalir ke atas, sehingga udara segar dari luar masuk ke dalam bangunan. Dengan kebutuhan energi bangunan yang terus meningkat, pendekatan pasif seperti cerobong surya menjadi semakin relevan. Namun, pertanyaan terkait bagaimana suhu adsorber memengaruhi kinerja cerobong surya masih memerlukan penelitian mendalam. Pemikiran Awal (tentang Permasalahan):

Pemahaman awal tentang cerobong surya menunjukkan bahwa efisiensinya dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk suhu adsorber, dimensi cerobong, dan ukuran inlet serta outlet. Beberapa penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa peningkatan suhu adsorber dapat meningkatkan efek cerobong melalui peningkatan gaya apung termal. Namun, hubungan kuantitatif antara suhu adsorber dan laju aliran udara belum banyak dieksplorasi, terutama dalam konteks ruangan dengan volume kecil seperti yang digunakan dalam penelitian ini. Selain itu, ukuran cerobong dan inlet yang tidak seimbang dengan volume ruang dapat memengaruhi distribusi aliran udara dan nilai ACH (Air Changes per Hour) yang dihasilkan, sehingga perlu dianalisis secara lebih mendalam untuk memahami implikasinya terhadap desain praktis.

G. Metode & Prosedur

Idealisasi: Bangunan dimodelkan sebagai kubus sederhana dengan sebuah cerobong surya yang miring di bagian atas. Dimensi ruang adalah 3x3x3 meter, sedangkan cerobong memiliki ukuran 1,5x3x0,3 meter dengan kemiringan 45 derajat. Fluida adalah udara inkompresibel dan Newtonian. Model turbulensi yang digunakan adalah k-ε (k-epsilon), yang umum digunakan dalam simulasi CFD pada bangunan karena kestabilannya dalam memprediksi aliran turbulen. Solver yang digunakan adalah buoyantBoussinesqSimpleFoam, yang dirancang untuk simulasi aliran termal dengan asumsi aliran stabil dan tidak termampatkan. Dinding bangunan dianggap adiabatik, kecuali permukaan adsorber yang menerima panas dari radiasi matahari. Simulasi dilakukan menggunakan 400.000 elemen mesh, yang telah memenuhi standar kualitas mesh snappyHexMesh.

Kondisi Batas: 1. Inlet:

     o	Tekanan: zerogradient
     o	p_rgh: total pressure 0
     o	Kecepatan (U): pressureInletOutletVelocity
     o	Temperatur (T): 300 K

2. Outlet:

     o	Tekanan (p): 0 (gauge pressure) atau setara 1 atm
     o	p_rgh: total pressure 0
     o	Kecepatan (U): pressureInletOutletVelocity
     o	Temperatur (T): zerogradient

3. Adsorber:

     o	Variasi suhu: 320 K hingga 460 K, dengan interval 20 K

Instruksi (Set):

1. Geometri & Pembuatan Mesh:

     o	Buat model 3D bangunan kubus dengan cerobong surya miring di atasnya.
     o	Lakukan pemadatan mesh (refinement) di sekitar cerobong dan inlet untuk menangkap gradien kecepatan dan temperatur secara detail.

2. Kondisi Batas & Setup Fisika:

     o	Terapkan kondisi no-slip pada dinding padat.
     o	Kondisikan inlet dengan kecepatan atau tekanan tertentu dan temperatur lingkungan.
     o	Berikan kondisi pemanasan pada dinding cerobong sebagai fluks panas atau temperatur yang meningkat.
     o	Gunakan model turbulensi yang sesuai untuk memodelkan aliran yang berkembang.

3. Simulasi & Pengumpulan Data:

     o	Jalankan simulasi steady-state atau transien untuk berbagai nilai parameter (misalnya variasi intensitas surya atau laju aliran masuk).
     o	Kumpulkan data distribusi kecepatan, temperatur, dan parameter kunci lainnya.

4. Interpretasi & Iterasi:

     o	Analisis kontur kecepatan dan temperatur untuk memahami pola aliran.
     o	Lakukan regresi polinomial pada data laju aliran vs parameter masukan.
     o	Jika perlu, perbaiki mesh atau kondisi batas untuk mendapatkan solusi yang stabil dan konvergen.

H. Hasil & Diskusi

Hasil simulasi menunjukkan bahwa suhu adsorber memiliki pengaruh signifikan terhadap laju aliran udara masuk. Namun, nilai Air Changes per Hour (ACH) yang dihitung menunjukkan angka yang sangat besar dan tidak umum untuk kondisi ruangan normal. Hal ini disebabkan oleh ukuran cerobong dan inlet yang sangat besar dibandingkan dengan volume ruang yang kecil. Dimensi inlet sebesar 1x1 meter memberikan kontribusi signifikan terhadap aliran udara yang tinggi, sehingga memperbesar nilai ACH secara tidak proporsional.


Suhu Absorben (K) Laju Aliran Inlet (m/s) ACH

320 0.266 106.4

340 0.395 158

360 0.484 193.6

380 0.555 222

400 0.614 245.6

420 0.662 264.8

440 0.705 282

460 0.744 297.6


Distribusi Kecepatan:

Pada region dekat inlet, kecepatan relatif rendah (~0,3–0,4 m/s) karena udara masih berada dalam kondisi mendekati lingkungan luar yang tenang. Namun, saat suhu adsorber meningkat, gaya apung termal yang lebih besar mendorong percepatan aliran udara ke atas. Kecepatan maksimum di dekat cerobong dapat mencapai sekitar 1,1 m/s pada suhu adsorber tinggi, sesuai dengan legenda warna pada kontur simulasi. Profil kecepatan dalam ruang interior menunjukkan adanya sirkulasi alami yang lebih kuat, yang membantu meratakan distribusi udara segar dan mengurangi daerah stagnan.

Distribusi Temperatur:

Kontur temperatur memperlihatkan gradien termal yang meningkat seiring kenaikan suhu adsorber. Pada permukaan adsorber yang dipanaskan hingga suhu tertentu (misalnya 320–460 K), udara menjadi lebih ringan dan naik, memberikan efek hisap di bagian bawah bangunan. Udara segar dari luar kemudian masuk untuk menggantikan udara yang naik. Hasil ini menunjukkan bahwa pengaturan suhu adsorber dapat dioptimalkan untuk meningkatkan efisiensi ventilasi alami.

Analisis Regresi Polinomial:

Persamaan regresi laju aliran inlet terhadap parameter masukan (misalnya intensitas radiasi atau variasi suhu) memberikan hubungan: y = -2E-05x² + 0,0162x - 3,2055 dengan R² = 0,9969. Di sini, ‘x’ dapat merepresentasikan parameter lingkungan (misalnya suhu permukaan cerobong atau intensitas radiasi) dan ‘y’ adalah laju aliran udara pada inlet (m/s). Nilai R² yang sangat tinggi menunjukkan bahwa model polinomial ini mampu mendekati data simulasi dengan akurasi yang sangat baik. Hal ini memudahkan perancang untuk memprediksi perubahan laju aliran udara cukup dengan mengetahui kondisi parameter masukan, tanpa harus melakukan simulasi penuh untuk setiap kasus.

Perbandingan dengan Literatur & Implikasi Praktis:

Hasil ini konsisten dengan penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa peningkatan suhu permukaan cerobong atau adsorber meningkatkan efek cerobong. Namun, pendekatan CFD yang digunakan di sini memberikan pemahaman lebih mendetail tentang distribusi aliran dan temperatur di dalam ruang. Implikasi praktisnya adalah para arsitek dan insinyur dapat memanfaatkan hubungan regresi ini untuk merancang sistem ventilasi pasif yang lebih efektif dengan mengatur suhu adsorber secara optimal.

I. Kesimpulan, Penutup, dan Rekomendasi

Studi ini berhasil memodelkan kinerja cerobong surya pada bangunan sederhana menggunakan CFD, menunjukkan pola aliran udara yang dipengaruhi oleh pemanasan surya. Hasil regresi menunjukkan hubungan yang erat antara parameter masukan dan laju aliran udara, memudahkan prediksi kinerja sistem. Peningkatan kecepatan aliran seiring dengan peningkatan suhu di dalam cerobong menegaskan peran krusial efek cerobong dalam menciptakan ventilasi alami. Rekomendasi untuk penelitian selanjutnya meliputi: 1. Pengujian geometri cerobong yang lebih kompleks dan material berbeda. 2. Simulasi transien untuk menangkap efek perubahan intensitas matahari sepanjang hari. 3. Validasi eksperimental guna memastikan kesesuaian model numerik dengan kondisi nyata. 4. Integrasi dengan strategi pasif lainnya seperti atap hijau atau panel surya untuk efisiensi energi yang lebih holistik.


Tautan dokumen lengkap : https://drive.google.com/file/d/1n_RhxuTewCh-X1hI33m-B091cFmWTt_J/view?usp=sharing


The 33 DAI5 Implementation Evaluation Criteria

The 33 DAI5 Implementation Evaluation Criteria

I. Deep Awareness (of) I (DAI)

1. Consciousness of Purpose: Reflects understanding of the Creator's role in shaping the case study context.

2. Self-awareness: Demonstrates awareness of personal biases, assumptions, and roles in the analysis.

3. Ethical Considerations: Includes moral and ethical implications in addressing the case study.

4. Integration of CCIT (Cara Cerdas Ingat Tuhan): Maintains remembrance of The Creator throughout the essay.

5. Critical Reflection: Shows depth in connecting technical solutions to broader spiritual and societal impacts.

6. Continuum of Awareness: Evidence of uninterrupted and progressive conscious analysis.

II. Intention

7. Clarity of Intent: States a clear and purposeful intention aligned with the ultimate goal of the Creator’s recognition.

8. Alignment of Objectives: Aligns case study objectives with higher values and universal principles.

9. Relevance of Intent: Ensures the intention addresses real-world engineering needs effectively.

10. Sustainability Focus: Intends solutions that consider long-term environmental, societal, and economic impacts.

11. Focus on Quality: Demonstrates a conscious intention to prioritize reliability, accuracy, and precision.

III. Initial Thinking (about the Problem)

12. Problem Understanding: Clearly identifies and describes the engineering problem.

13. Stakeholder Awareness: Considers perspectives of all stakeholders impacted by the problem or solution.

14. Contextual Analysis: Places the problem within a relevant physical, social, and technical context.

15. Root Cause Analysis: Identifies underlying causes, not just symptoms of the problem.

16. Relevance of Analysis: Ensures the problem-solving process is grounded in practical and applicable insights.

17. Use of Data and Evidence: Employs credible, accurate, and sufficient data to support problem understanding.

IV. Idealization

18. Assumption Clarity: States all assumptions explicitly and justifies their relevance.

19. Creativity and Innovation: Proposes unique or unconventional idealized solutions while adhering to realism.

20. Physical Realism: Ensures the idealization adheres to physical laws and engineering principles.

21. Alignment with Intent: Ensures idealization aligns with the initial intention and overarching goals.

22. Scalability and Adaptability: Considers whether the idealized solution is scalable and adaptable to different contexts.

23. Simplicity and Elegance: Proposes solutions that are efficient, simple, and elegant while solving complex problems.

V. Instruction (Set)

24. Clarity of Steps: Outlines each step of the solution process clearly and logically.

25. Comprehensiveness: Includes all relevant aspects of the solution, leaving no gaps.

26. Physical Interpretation: Explains the physical meaning of all numerical results or design decisions.

27. Error Minimization: Includes procedures to reduce errors in solution implementation.

28. Verification and Validation: Provides methods for verifying and validating the solution.

29. Iterative Approach: Demonstrates readiness to iterate and refine the solution if needed.

30. Sustainability Integration: Considers sustainable practices within the solution execution.

31. Communication Effectiveness: Presents instructions in a way that is understandable and actionable by others.

32. Alignment with the DAI5 Framework: Maintains coherence with all preceding DAI5 steps.

33. Documentation Quality: Provides clear, complete, and professional documentation of the solution.