Difference between revisions of "Pengembangan Evaporative Cooling Pada Media pendingin Belustru/gambas (Luffa Cylindrica) Dengan Menggunakan Finned Heat Pipe"
(Blanked the page) |
|||
Line 1: | Line 1: | ||
+ | Topik Penelitian : Pengembangan Evaporative Cooling Pada Media pendingin Belustru/gambas (Luffa Cylindrica) Dengan Menggunakan Finned Heat Pipe | ||
+ | Latar Belakang | ||
+ | Menurut data dari Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) Indonesia pada tahun 2019 menduduki peringkat ke empat sebagai negara dengan jumlah penduduk erbesar yaitu sekitar 267 juta. Dengan jumlah penduduk yang sangat besar dapat dipastikan bahwa jumlah konsumsi energi di Indonesia juga sangat besar. Penggunaan energi dunia yang berkembang pesat telah menimbulkan kekhawatiran atas kesulitan pasokan, kehabisan sumber daya energi dan dampak lingkungan (penipisan lapisan ozon, pemanasan global, perubahan iklim, dan lain-lain). Kontribusi global dari bangunan terhadap konsumsi energi, baik perumahan dan komersial, telah terus meningkat mencapai angka antara 20% dan 40% di negara-negara maju, dan telah melampaui sektor utama lainnya: industri dan transportasi. Pertumbuhan populasi, meningkatnya permintaan untuk layanan bangunan dan tingkat kenyamanan, bersama dengan peningkatan waktu yang dihabiskan di dalam gedung, memastikan tren peningkatan permintaan energi akan terus berlanjut di masa depan. Untuk alasan ini, efisiensi energi pada bangunan saat ini merupakan tujuan utama kebijakan energi di tingkat regional, nasional dan internasional. Kebutuhan energi pada bangunan terutama untuk sistem pengkondisian udara mencapai 40-50% [1]. Bangunan yang mempunyai kontribusi yang besar dalam hal penggunaan energi salah satunya adalah bangunan industri. Bangunan industri memiliki fitur yang membuatnya sangat berbeda dari semua jenis bangunan lain seperti rumah tinggal, perkantoran, sekolah, rumah sakit dan lain-lain. Pertama, dalam kebanyakan kasus, bangunan ini tidak memiliki sistem pemanas atau pendingin kecuali untuk ruang kantor; kedua, perolehan panas internal memiliki dampak besar pada keseimbangan energi dari bangunan penyebabnya adalah proses kerja dan peralatan listrik. Konsumsi energi listrik akibat proses produksi, terutama dalam hal beban proses yang tinggi, jauh melebihi kebutuhan energi untuk pengkondisian udara [2]. Selain faktor kenyamanan faktor kesehatan juga merupakan hal penting yang harus diperhatikan pada sistem pengkondisian bangunan industri. Kebutuhan udara segar pada sistem pengkondisian udara di sebuah bangunan industri mutlak diperlukan. Studi secara numerik pada bangunan industri menunjukkan bahwa evaporatif cooling merupakan cara yang cocok untuk membuat lingkungan internal lebih nyaman baik dengan sistem langsung (direct) atau tidak langsung (indirect). Aplikasi sistem tidak langsung (indirect) untuk pendinginan gedung, berdasarkan pada komponen pasif, tanpa ventilasi paksa, disajikan dan dianalisis secara numerik oleh Manzan dkk [3]. Secara umum, sistem direct evaporative cooling terbukti menjadi pilihan terbaik dalam hal tingkat kenyamanan dan konsumsi energi listrik. Namun, sistem ini dibandingkan dengan sistem indirect evaporative cooling menunjukkan beberapa kelemahan diantaranya kelembapan udara yang dihasilkan relatif tinggi, akan tetapi untuk beberapa lokasi yang tidak begitu panas dan lembab, tidak ada perbedaan yang signifikan antara kedua sistem tersebut. Mempertimbangkan kinerja penghematan energi dan kenyamanan termal, evaporative cooling jelas merupakan solusi sistem pengkondisian yang baik untuk bangunan industri [4]. Jika mengacu pada Costelloe dan Finn [5, 6] direct evaporative cooling hanya cocok untuk iklim panas dengan kelembaban rendah/kering, sedangkan Indonesia merupakan negara beriklim tropis dengan kelembapan yang tinggi, diperlukan inovasi jika evaporative cooling ini akan digunakan. Jenis lain dari evaporative cooling yaitu indirect evaporative cooling. Meskipun penurunan temperatur tidak mengakibatkan kenaikan kelembaban (karena udara yang didinginkan tidak bersentuhan langsung) memiliki performa yang lebih rendah. Kelemahan utama dari evaporative cooling adalah ketergantungannya yang tinggi pada udara sekitar/lingkungan (ambient air). Karena perbedaan temperatur udara kering dan temperatur udara basah dari lingkungan merupakan kekuatan pendorong pada proses penguapan. Daerah dengan kelembapan yang sedang dan tinggi, mempunyai perbedaan yang kecil sehingga mengakibatkan terbatasnya kapasitas pendinginan [7]. Biomassa adalah bahan biologis yang berasal dari organisme atau makhluk hidup. Sumber daya biomassa di Indonesia sangatlah melimpah. Secara umum biomassa paling banyak diperoleh dari limbah pertanian dan pengolahan pangan seperti kelapa sawit, jagung, serat nanas, rami, tebu dan masih banyak yang lainnya. Dalam upaya untuk meningkatkan pendapatan para petani beberapa limbah biomassa dicoba untuk dimanfaatkan, contohnya serat daun nanas. Jawa barat khususnya daerah subang merupakan penghasil nanas di Indonesia, didaerah tersebut banyak tersedia limbah daun nanas yang pemanfaatannya belum terlalu maksimal. Kinerja dari direct evaporative cooling sangat dipengaruhi oleh material dari cooling pad. Selain mengaplikasikan finned heat pipe pada evaporative cooling fokus penelitian ini juga mencoba mencari alternatif penggunaaan biomassa sebagai media pendingin, beberapa biomassa yang akan digunakan adalah serat nanas, rami dan blustru. | ||
+ | |||
+ | Tujuan | ||
+ | 1. Menemukan korelasi antara panjang finned heat pipe dan orientasi penempatan finned heat pipe pada evaporative cooling. 2. 2. Menemukan korelasi antara kecepatan udara masuk, ketebalan media pendingin, sistem penyemprotan air (water spray), konsumsi air (water consumption) pada evaporative cooling dengan kombinasi finned heat pipe dan media pendingin bio massa. | ||
+ | |||
+ | Pertanyaan Pemasalahan | ||
+ | 1. Bagaimana pengaruh temperatur air pada bak penampung terhadap efisiensi saturasi dari direct evaporative cooling? 2. Bagaimana pengaruh pengaturan kecepatan udara yang dihembuskan terhadap efektifitas dan efisiensi system? Methodology Penelitian ini akan menggunakan metode eksperimen. Karena desain telah dilakukan pada penelitian sebelumnya, maka penelitian ini akan langsung pada pengembangan nya. Percobaan akan dilakukan untuk mendapatkan hasil terbaik dari biomassa yang pakai pada penelitian ini dengan menyesuaikan jenis biomassa dari serat buah yang ada di Indonesia. |
Latest revision as of 09:16, 6 April 2020
Topik Penelitian : Pengembangan Evaporative Cooling Pada Media pendingin Belustru/gambas (Luffa Cylindrica) Dengan Menggunakan Finned Heat Pipe
Latar Belakang Menurut data dari Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) Indonesia pada tahun 2019 menduduki peringkat ke empat sebagai negara dengan jumlah penduduk erbesar yaitu sekitar 267 juta. Dengan jumlah penduduk yang sangat besar dapat dipastikan bahwa jumlah konsumsi energi di Indonesia juga sangat besar. Penggunaan energi dunia yang berkembang pesat telah menimbulkan kekhawatiran atas kesulitan pasokan, kehabisan sumber daya energi dan dampak lingkungan (penipisan lapisan ozon, pemanasan global, perubahan iklim, dan lain-lain). Kontribusi global dari bangunan terhadap konsumsi energi, baik perumahan dan komersial, telah terus meningkat mencapai angka antara 20% dan 40% di negara-negara maju, dan telah melampaui sektor utama lainnya: industri dan transportasi. Pertumbuhan populasi, meningkatnya permintaan untuk layanan bangunan dan tingkat kenyamanan, bersama dengan peningkatan waktu yang dihabiskan di dalam gedung, memastikan tren peningkatan permintaan energi akan terus berlanjut di masa depan. Untuk alasan ini, efisiensi energi pada bangunan saat ini merupakan tujuan utama kebijakan energi di tingkat regional, nasional dan internasional. Kebutuhan energi pada bangunan terutama untuk sistem pengkondisian udara mencapai 40-50% [1]. Bangunan yang mempunyai kontribusi yang besar dalam hal penggunaan energi salah satunya adalah bangunan industri. Bangunan industri memiliki fitur yang membuatnya sangat berbeda dari semua jenis bangunan lain seperti rumah tinggal, perkantoran, sekolah, rumah sakit dan lain-lain. Pertama, dalam kebanyakan kasus, bangunan ini tidak memiliki sistem pemanas atau pendingin kecuali untuk ruang kantor; kedua, perolehan panas internal memiliki dampak besar pada keseimbangan energi dari bangunan penyebabnya adalah proses kerja dan peralatan listrik. Konsumsi energi listrik akibat proses produksi, terutama dalam hal beban proses yang tinggi, jauh melebihi kebutuhan energi untuk pengkondisian udara [2]. Selain faktor kenyamanan faktor kesehatan juga merupakan hal penting yang harus diperhatikan pada sistem pengkondisian bangunan industri. Kebutuhan udara segar pada sistem pengkondisian udara di sebuah bangunan industri mutlak diperlukan. Studi secara numerik pada bangunan industri menunjukkan bahwa evaporatif cooling merupakan cara yang cocok untuk membuat lingkungan internal lebih nyaman baik dengan sistem langsung (direct) atau tidak langsung (indirect). Aplikasi sistem tidak langsung (indirect) untuk pendinginan gedung, berdasarkan pada komponen pasif, tanpa ventilasi paksa, disajikan dan dianalisis secara numerik oleh Manzan dkk [3]. Secara umum, sistem direct evaporative cooling terbukti menjadi pilihan terbaik dalam hal tingkat kenyamanan dan konsumsi energi listrik. Namun, sistem ini dibandingkan dengan sistem indirect evaporative cooling menunjukkan beberapa kelemahan diantaranya kelembapan udara yang dihasilkan relatif tinggi, akan tetapi untuk beberapa lokasi yang tidak begitu panas dan lembab, tidak ada perbedaan yang signifikan antara kedua sistem tersebut. Mempertimbangkan kinerja penghematan energi dan kenyamanan termal, evaporative cooling jelas merupakan solusi sistem pengkondisian yang baik untuk bangunan industri [4]. Jika mengacu pada Costelloe dan Finn [5, 6] direct evaporative cooling hanya cocok untuk iklim panas dengan kelembaban rendah/kering, sedangkan Indonesia merupakan negara beriklim tropis dengan kelembapan yang tinggi, diperlukan inovasi jika evaporative cooling ini akan digunakan. Jenis lain dari evaporative cooling yaitu indirect evaporative cooling. Meskipun penurunan temperatur tidak mengakibatkan kenaikan kelembaban (karena udara yang didinginkan tidak bersentuhan langsung) memiliki performa yang lebih rendah. Kelemahan utama dari evaporative cooling adalah ketergantungannya yang tinggi pada udara sekitar/lingkungan (ambient air). Karena perbedaan temperatur udara kering dan temperatur udara basah dari lingkungan merupakan kekuatan pendorong pada proses penguapan. Daerah dengan kelembapan yang sedang dan tinggi, mempunyai perbedaan yang kecil sehingga mengakibatkan terbatasnya kapasitas pendinginan [7]. Biomassa adalah bahan biologis yang berasal dari organisme atau makhluk hidup. Sumber daya biomassa di Indonesia sangatlah melimpah. Secara umum biomassa paling banyak diperoleh dari limbah pertanian dan pengolahan pangan seperti kelapa sawit, jagung, serat nanas, rami, tebu dan masih banyak yang lainnya. Dalam upaya untuk meningkatkan pendapatan para petani beberapa limbah biomassa dicoba untuk dimanfaatkan, contohnya serat daun nanas. Jawa barat khususnya daerah subang merupakan penghasil nanas di Indonesia, didaerah tersebut banyak tersedia limbah daun nanas yang pemanfaatannya belum terlalu maksimal. Kinerja dari direct evaporative cooling sangat dipengaruhi oleh material dari cooling pad. Selain mengaplikasikan finned heat pipe pada evaporative cooling fokus penelitian ini juga mencoba mencari alternatif penggunaaan biomassa sebagai media pendingin, beberapa biomassa yang akan digunakan adalah serat nanas, rami dan blustru.
Tujuan 1. Menemukan korelasi antara panjang finned heat pipe dan orientasi penempatan finned heat pipe pada evaporative cooling. 2. 2. Menemukan korelasi antara kecepatan udara masuk, ketebalan media pendingin, sistem penyemprotan air (water spray), konsumsi air (water consumption) pada evaporative cooling dengan kombinasi finned heat pipe dan media pendingin bio massa.
Pertanyaan Pemasalahan 1. Bagaimana pengaruh temperatur air pada bak penampung terhadap efisiensi saturasi dari direct evaporative cooling? 2. Bagaimana pengaruh pengaturan kecepatan udara yang dihembuskan terhadap efektifitas dan efisiensi system? Methodology Penelitian ini akan menggunakan metode eksperimen. Karena desain telah dilakukan pada penelitian sebelumnya, maka penelitian ini akan langsung pada pengembangan nya. Percobaan akan dilakukan untuk mendapatkan hasil terbaik dari biomassa yang pakai pada penelitian ini dengan menyesuaikan jenis biomassa dari serat buah yang ada di Indonesia.